7.4.09

Kumara, Menumbuhkan Asa Anak


Dua hari pascabencana jebolnya tanggul Situ Gintung, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (29/3), Kumara Sadana Putra mendatangi posko SAR di lokasi musibah. Hanya berbekal kecakapan menggambar dan sedikit pengetahuan psikologi anak, ia mengungkapkan niatnya kepada koordinator posko untuk ikut membantu pemulihan trauma pada anak-anak korban bencana.

Suyatno, Koordinator Posko SAR, segera menghubungkan Kumara dengan seorang dokter yang juga relawan di Situ Gintung. Khusus untuk penanganan trauma pada anak pascabencana telah disediakan ruangan di Lantai III Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKK UMJ).

Saat melihat ruangan di FKK UMJ, lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2006 ini sempat bingung karena belum ada fasilitas apa pun untuk penanganan trauma pada anak.

”Saya kumpulkan saja anak-anak yang ada di pengungsian Lantai II FKK UMJ. Waktu itu ada 16 anak usia TK hingga SD. Bermodalkan kertas dan pensil, saya ajak mereka menggambar sambil bercanda dan berkomunikasi santai. Hasilnya, mereka langsung ceria,” kata Kumara.

Masih bekerja seorang diri, pada hari kedua di Pusat Penyembuhan Trauma Anak (Children Trauma Healing/CTH), Senin (30/3), dia mencoba memotivasi anak-anak itu untuk kembali bersekolah. Caranya, lagi-lagi dengan menggambar. Kali ini ia tetapkan temanya, yaitu menggambar sekolah mereka masing-masing sebelum hancur diterjang air bah.

Pada dua hari awal berjalannya CTH, hasilnya cukup mengesankan. Setiap anak bisa membuat buku harian bergambar. Anak-anak itu bercerita tentang bencana yang mereka alami, tetapi sebagian lagi juga asyik menggambar pemandangan dan hal-hal indah yang terekam dalam memori otak mereka, termasuk tentang sekolah, guru, dan teman sekelas.

Hasil observasi sementara, Kumara melihat setiap anak membutuhkan waktu relatif singkat untuk saling mengenal satu sama lain dan menerima dirinya sebagai seorang kakak.

Sebelumnya, anak-anak itu terlihat kebingungan melihat kondisi di sekitar mereka yang rusak parah dan tiba-tiba harus hidup bersama banyak orang di tempat pengungsian. Mereka juga tidak bisa ke sekolah karena seragam dan alat tulis hanyut terbawa banjir bandang. Sebagian di antara mereka pun harus kehilangan anggota keluarga, termasuk orangtua. Satu-satunya hiburan adalah menonton televisi yang tidak semua acaranya cocok bagi anak-anak.

Jadi koordinator

”Saya lega, hari pertama bersama mereka berlangsung lancar. Tetapi, saya tahu keterbatasan saya. Ada yang lebih tahu tentang trauma anak dan metode pendekatan psikologi yang dibutuhkan. Hari Minggu itu juga saya menghubungi teman dan relasi, demi mewujudkan pusat penanganan trauma yang tepat,” kata Kumara.

Dukungan segera berdatangan. Selain dari alumni ITB, bergabung juga Dorul Qur’an, mahasiswa dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Palang Merah Indonesia (PMI), Cahaya TV, Sobat Anak, dan Semut-semut School. Belakangan menyusul bergabung relawan guru yang membantu anak-anak itu mengejar pelajaran sekolah yang tertinggal selama di pengungsian.

Setelah timnya terbentuk, Kumara membuat jadwal kegiatan rutin bagi anak-anak, mulai dari Senin (30/3) hingga Minggu (5/4). Sesuai saran dari beberapa mahasiswa psikologi, selama sepekan pascabencana umumnya anak korban bencana belum bisa sekolah karena berbagai sebab.

Oleh karena itu, dia siapkan kegiatan untuk menyalurkan energi dan emosi anak-anak, seperti menggambar, mendengarkan cerita, dan bermain. Selain juga mempersiapkan mereka untuk kembali ke sekolah.

Jadwal kegiatan anak hanya dibatasi dua jam pada pagi hari dan dua jam lagi pada sore hari. Dengan pengaturan jadwal itu, setiap anak memiliki waktu beristirahat cukup. Kegiatannya pun diatur sehingga setiap pengisi acara tidak memberikan materi yang monoton atau tumpang tindih.

Setiap hari, selalu ada acara hiburan, mulai dari badut, kedatangan pendongeng, hingga melakukan banyak permainan. Anak-anak makin gembira karena bantuan meja lipat kecil untuk belajar, alat tulis, dan mainan melimpah.

Untuk memastikan semua kegiatan berjalan lancar dan kebutuhan pendukung terpenuhi, Kumara dipercaya menjadi koordinator tim. Jumat (3/4) dia terlihat sibuk mencari tempat baru yang dapat digunakan sebagai pusat penanganan trauma. Ini didasari kenyataan bahwa masih banyak anak korban bencana yang belum tersentuh pendampingan.

”Selain di FKK UMJ, pusat penanganan trauma dibuka juga di Balai Warga V di RT 3 Poncol. Di tempat itu terdapat 39 anak yang akan didampingi. Kami juga mulai mendampingi remaja usia SMP dan SMA korban bencana yang saat ini terkumpul sekitar 55 orang,” kata Kumara.

Mulai Senin (6/4), pekan kedua pascabencana, Kumara dan timnya di CHT memindahkan kegiatan mereka ke Wisma Kertamukti, tempat penampungan sementara bagi para pengungsi Situ Gintung. Di lokasi baru ini juga terdapat Posko Anak Ceria dari Komisi Nasional Anak dan Departemen Sosial.

Terinspirasi dosen

”Pokoknya saya tetap ingin aktif mendampingi anak-anak ini minimal hingga tiga bulan pascabencana. Teman-teman psikolog bilang, tiga bulan adalah waktu normal untuk penyembuhan trauma. Dengan catatan, ini harus rutin dan programnya jelas,” kata pemuda yang telah mengumpulkan lebih dari 100 trofi sekaligus penghargaan dari bermacam lomba gambar ataupun desain nasional dan internasional ini.

Kecintaan kepada dunia desain dan anak-anak diakui Kumara sudah ada sejak dia sendiri masih tergolong kanak-kanak. Rasa cinta itu makin membara setelah ia mendapat pelajaran dari Profesor Primadi Tabrani, guru besar Seni Murni ITB.

Menurut Kumara, Prof Primadi Tabrani menyatakan, desain dan gambar merupakan alat komunikasi universal. Prof Primadi selalu menekankan, menggambar itu merupakan kegiatan yang mampu menyeimbangkan perkembangan otak kanan dan otak kiri pada anak-anak. Keseimbangan perkembangan otak ini berpengaruh pada perkembangan jiwa dan emosi anak.

Menjadi relawan di lokasi bencana Situ Gintung memang merupakan pengalaman pertama baginya. Meskipun sibuk dan letih luar biasa—tentu saja tanpa bayaran—Kumara yakin dirinya telah memilih dan melakukan hal yang tepat. Sama seperti ketika memutuskan keluar dari pekerjaan di salah satu perusahaan elektronik besar, hanya karena merasa tidak sesuai dengan idealismenya.

Kini pengajar desain paruh waktu ini merasa bahagia berada bersama anak-anak korban bencana. Ia merasa beruntung bisa mendampingi dan melihat semangat serta harapan yang berkobar di mata anak-anak itu untuk bangkit dari keterpurukan. (COKORDA YUDISTIRA)

---
Sumber: Neli Triana: "Kumara, Menumbuhkan Asa Anak", Kompas, 6 April 2009.

Tegep, Melangkah Tegap dengan "Boots"


Sepatu boot atau bot buatan Tegep Oktaviansyah diproduksi di tengah krisis moneter 1997. Bot dari Bandung, Jawa Barat, itu tidak tergoyahkan ketika badai krisis ekonomi datang lagi belakangan ini. Sepatunya dikenakan artis, pejabat, hingga ekspatriat. Rini Kustiasih

Hobi yang ditekuni sungguh-sungguh akan mendatangkan rezeki. Setidaknya itu pengalaman Tegep Oktaviansyah, pemilik dan pendiri sepatu bot merek Tegep Boots ini.

Kejeliannya melihat peluang dan keinginan kuat untuk menciptakan produk yang berbeda membuat Tegep Boots dikenakan artis, pejabat, sampai ekspatriat asal Amerika Serikat, Jerman, dan Australia. Omzet produksinya dalam satu bulan mencapai Rp 100 juta-Rp 200 juta.

Kisah sukses itu bermula dari hobi Tegep mengenakan sepatu bot sejak SMA pada era 1990-an. Untuk mendapatkan sepatu bot, kala itu bukanlah hal yang mudah dan murah. Harga bot yang berkisar Rp 400.000, untuk ukuran Tegep, tergolong mahal. Namun, demi memenuhi hasratnya, Tegep yang kuliah di Jurusan Desain Produk di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, mencoba membuat bot sendiri.

”Saya belajar dari nol, mulai dari melihat pengerjaan oleh perajin hingga membaca buku tentang pembuatan sepatu bot yang baik,” katanya.

Tegep mempelajari anatomi kaki agar sepatu buatannya nyaman dipakai. Pada 1997 dia menggandeng seorang rekan untuk membuat sepatu bot bermerek Kanselir. Desain Kanselir masih sebatas model sepatu para koboi dan bot yang dipopulerkan oleh personel The Beatles.

”Desainnya masih sepatu bot klasik, dengan bentuk jungle, seperti yang sering dipakai koboi atau pengendara motor besar,” ujar Tegep.

Dia sendiri adalah penggemar motor besar dan anggota komunitas bikers Brotherhood. Anggota komunitas itu adalah pasar awal sepatu bot buatan Tegep dan merupakan pelanggan setianya.

Lolos dari krisis

Badai krisis pada pertengahan 1997 memukul usaha Tegep dan rekannya. Harga bahan baku sepatu bot dari kulit naik tiga kali lipat.

Kongsi usaha itu pun buyar karena perbedaan prinsip. Maka, Tegep memulai lagi usahanya dengan empat pekerja. Krisis ia lawan dengan peningkatan kualitas material dan desain.

”Saya tidak mau menurunkan kualitas produk. Itu akan membuat kepercayaan pelanggan hilang,” ujar Tegep beralasan.

”Saya belajar membuat desain baru dengan material yang baru pula. Saya sering terinspirasi oleh katalog-katalog sepatu dan tertantang mengembangkan desainnya,” tambahnya.

Desain sepatu bot Tegep didominasi motif etnis, seperti Dayak (Kalimantan), Mauri (Selandia Baru), dan Aztec (Indian). Warna-warnanya pun dikombinasikan secara ekstrem.

”Kalau bisa saya bikin perpaduan warna yang ’gila’, beda, dan tak terpikirkan sebelumnya,” ungkapnya. Salah satu desain Tegep bahkan disimpan di museum sepatu dan kulit di Jerman.

Desain menarik itu dia terapkan pada material berkualitas dari kulit binatang, seperti ular, biawak, buaya, kelinci, sapi, bahkan ikan pari. Kiat itu mampu menarik hati pelanggan. Di tengah krisis, sepatu buatan Tegep tetap dicari meski harganya tinggi.

”Saya juga mendapat berkah saat krisis, yakni dengan makin banyaknya pembeli beralih pada produk lokal. Bot buatan saya mulai dilirik, sebab harga buatan luar negeri tak lagi terjangkau,” ujarnya.

Hal lain yang membuat Tegep bertahan ialah pasar yang jelas dan tersegmentasi. Sejak awal dia menyasar kalangan menengah ke atas dengan jenis produk tunggal, yakni sepatu bot. Bagi laki-laki kelahiran Tasikmalaya itu, berebut kue besar dengan bagian yang kecil tidaklah menyenangkan. Ia lebih menikmati kue kecil dengan bagian yang besar.

Melihat peluang

Jeli melihat peluang, Tegep ingin menguatkan posisi di pasar dengan merek yang mewakili produknya. Seorang dosen menyarankan produknya dinamai dengan nama dia sendiri.

”Nama Tegep kan jarang dan unik, jadi kenapa tidak kamu namai saja dengan namamu sendiri,” ucap Tegep menirukan perkataan dosennya.

Untuk mengenalkan sepatu botnya, Tegep membawa produk itu ke mana-mana dan mengikuti berbagai macam pameran. Omongan dari mulut ke mulut dalam komunitas bikers membuat bot buatannya makin dikenal. Tegep pun tak ragu memberikan sepatunya agar dipakai manggung oleh artis atau komunitas band sebagai cara berpromosi.

Kini, dengan kisaran harga Rp 1 juta-Rp 12 juta, pelanggannya menyebar dari artis hingga pejabat negara. Sebut saja Andy ”/rif”, Prabowo Subianto, Fahmi Idris, dan pesanan perwira Polda Metro Jaya. Baru-baru ini, anak Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pun memesan sepatu sneaker dari kulit ular di Tegep Boots.

Tegep juga melayani pesanan sejumlah butik di Jakarta, Bandung, Bali, Makassar, dan Australia. Pelanggannya dari dalam dan luar negeri. Tegep juga menyuplai sepatu bot untuk toko koboi milik Tantowi Yahya di Jakarta.

Menurut dia, menjaga kepercayaan pelanggan adalah kunci suksesnya. ”Membeli sepatu sama halnya dengan memilih tukang cukur. Sekali merasa cocok dan puas dengan pelayanannya, Anda akan terus kembali. Ini soal kepercayaan,” katanya.

Setiap kaki pelanggan diukur dan digambar. Pemilihan warna dan desain pun diserahkan kepada pemesan. ”Setiap sepatu adalah pilihan personal. Ia harus dibentuk dan diperlakukan berbeda-beda,” ujarnya.

Tegep melayani keluhan pelanggan yang sepatunya tak nyaman. Selalu ada garansi perbaikan sepatu untuk setiap pembelian.

Dalam tiga tahun terakhir, bersama desainer Mardiana Ika dan Iva Latifah, Tegep merambah dunia fashion. Sepatunya dipakai model dunia dalam Bali Fashion Weeks dan Hongkong Fashion Weeks (2007 dan 2008). Pada bagian bawah sepatunya tercetak: Handicrafted with pride in Bandung (dibuat dengan rasa bangga di Bandung).

Tegep sadar masih ada ratusan perajin sepatu di Bandung yang tak bernasib sebaik dirinya. Dia pun aktif menjadi pembicara dalam semiloka dan pelatihan bagi perajin sepatu Cibaduyut di Bandung. Kegiatan itu dimotori Departemen Perindustrian serta Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM.

Tegep yang sempat menjadi instruktur tenaga kerja ILO-PBB (2001-2004) ini juga menampung mahasiswa dan siswa kejuruan untuk magang di tempat kerja sekaligus tokonya di Jalan Pelajar Pejuang 104, Bandung. Dia menyupervisi langsung 24 tenaga kerja.

”Saya tak khawatir ilmu saya dibajak dan produk saya dikalahkan para anak didik. Bagi saya, berbagi ilmu adalah kewajiban. Kalau memang sudah rezeki kita, tak akan ke mana-mana,” tuturnya.

---
Sumber: Arum Trensnaningtyas Dayuputri: "Tegep, Melangkah Tegap dengan "Boots", Kompas, 31 Maret 2009.

6.4.09

Hidup Positif Yanti Nisro

Setiap orang yang datang ke Yanti harus pulang menjadi lebih baik dan bahagia. Itulah moto hidup Yanti Nisro dan banyak orang telah membuktikan kebenarannya.

”Saya ini seperti tempat sampah. Setiap orang ingin curhat, menumpahkan unek- unek dan masalahnya kepada saya,” tutur Yanti. Bahkan saat facial di salon, ia pun setia mendengar curhatan mbak- mbak kapster yang melayani dia. ”Saya bisa berkenalan dengan orang yang sama sekali baru di pesawat dan dalam waktu setengah jam, saya sudah tahu sejarah hidupnya dari A sampai Z.”

Faktanya memang demikian. Hanya dalam waktu kurang dari lima menit sejak berkenalan, perbincangan dengan Yanti sudah terasa cair dan santai. Sama sekali tidak ada kesan jaga jarak atau jaga wibawa untuk menunjukkan bahwa dia adalah seseorang yang memegang jabatan tinggi.

Maka kami pun ngobrol dengan leluasa tentang hampir apa saja. Mulai dari kesibukannya sebagai data acquisition leader, jabatan setara direktur di perusahaan riset pasar Nielsen (dulu dikenal dengan AC Nielsen) untuk wilayah Asia Tenggara bagian selatan, yang meliputi Indonesia, Malaysia, dan Singapura, ”Saya bertanggung jawab terhadap pengumpulan data dari lapangan untuk seluruh riset dan survei yang dikerjakan Nielsen di tiga negara itu,” katanya.

Hingga cerita romantis bagaimana dia bertemu dengan Barry Corbett, pria asli Irlandia yang sudah sembilan tahun menjadi suami tercintanya. Atau tentang masa kecil Yanti saat masih tinggal di tepian Kali Garang di tengah Kota Semarang.

Manajemen kasih

Kehangatan dan keakraban Yanti ini tidak hanya muncul saat dia sedang kumpul bersama keluarga atau teman-teman dekatnya atau saat diwawancara media saja, melainkan juga ia terapkan di tempat kerja.

Sebagai direktur yang membawahkan operasional perusahaan di tiga negara sekaligus, Yanti tidak merasa canggung atau risi untuk jalan-jalan atau nonton bersama anak buahnya. ”Saya pernah jalan ramai-ramai saat weekend dengan OB di kantor. Tidak masalah,” tuturnya.

Dalam istilah Yanti, ia menerapkan love management alias ”manajemen kasih” dengan tim kerjanya di kantor. Ia melakukan pendekatan pribadi kepada setiap anggota tim, tak ada batasan kaku antara atasan dan bawahan.

”Apa yang saya lakukan sekadar menularkan energi positif. Pada dasarnya semua orang butuh diakui, di-wong-ke. Saya percaya orang harus happy dulu, baru bisa produktif,” ungkap Yanti, yang sudah 20 tahun lebih berkarier di institusi yang terkenal dengan survei rating pemirsa televisi ini.

Dengan pendekatan itulah, tim di bawah Yanti menjadi tim yang dipuji berkinerja terbaik di antara cabang-cabang Nielsen di kawasan Asia-Pasifik. ”Anak buah saya sering diminta membantu tim-tim di negara lain. Saya memang ingin menunjukkan ke dunia luar bahwa orang Indonesia mampu berkiprah di dunia internasional,” ujarnya.

Di luar kantor, anak sulung dari tiga bersaudara ini tak kalah aktifnya. Ia baru saja selesai menjabat sebagai Presiden Soroptimist International of Jakarta (SIJ), sebuah organisasi amal internasional yang beranggotakan wanita-wanita profesional dan berkiprah dalam bidang pemberdayaan wanita dan anak-anak.

”Anggota SIJ sampai saat ini hanya 15 orang. Bukan karena kami eksklusif, tetapi lebih karena sudah kebanyakan organisasi di Indonesia ini sehingga susah membangun organisasi baru,” kata pehobi golf dan jalan-jalan ini.

Amal

Salah satu program SIJ yang paling monumental adalah rekonstruksi dan rehabilitasi Desa Lamreh di Krueng Jaya, Aceh, yang hancur disapu tsunami 2004. Program senilai 800.000 dollar AS ini berhasil menghidupkan kembali desa yang luluh lantak itu.

”Tidak saja kami bangun kembali rumah-rumah penduduknya, tetapi juga kami lengkapi dengan gedung PKK sampai mobil ambulans,” papar Yanti.

Dua tahun kemudian, gempa melanda Yogyakarta. Yanti, yang tidak mendapat tiket pesawat ke Yogya, nekat bermobil dari Jakarta ke Yogya bersama ibu dan adiknya untuk membagikan bantuan.

”Kami belanja dulu berbagai barang untuk bantuan dan saya telepon kantor di Semarang agar juga menyiapkan bantuan. Setelah itu kami berangkat. Setelah masuk tol, saya baru sadar tidak tahu jalan ke Yogya, ha-ha-ha,” tuturnya.

Namun, dengan modal nekat, sampailah Yanti dan rombongan ke Yogyakarta dan sukses mengedrop bantuan darurat di salah satu desa. Ia berangkat dari Jakarta hari Sabtu malam, sampai di Yogya Minggu pagi dan harus segera kembali ke Jakarta sore harinya.

”Hari Senin siang saya harus berangkat ke Jepang untuk pertemuan Soroptimist. Tanpa saya duga sebelumnya, mereka langsung menanyakan bantuan apa yang paling dibutuhkan korban gempa Yogya. Saya langsung paparkan kondisi di Yogya dan pulang dari sana saya dititipi bantuan senilai 6.000 dollar AS. Saya percaya, tidak ada kebetulan dalam hidup ini,” kenangnya.

Kini, Yanti sedang merintis sebuah organisasi baru yang bernama Orsin (kebalikan dari nama belakangnya, Nisro). Melalui organisasi ini, Yanti ingin memberdayakan dan memberi inspirasi kepada setiap masyarakat Indonesia agar segera bangkit dari keterpurukan. ”Cita-citanya bisa menjadi seperti Oprah Winfrey. Untuk tahap awal ini, kami sedang membangun website www.orsinworld.com yang berisi artikel-artikel inspiratif,” ungkapnya.

---
Sumber: Dahono Fitrianto, "Hidup Positif Yanti Nisro" Kompas, 5 April 2009

5.4.09

Bagikan Uang, Prestasi, dan Dirimu

Oleh: A Setyo Wibowo*

Kampanye marak. Berbulan-bulan para legislator atau presiden mencari dan mencuri perhatian dengan berbagai metode.

Selama kampanye, para pemilih bingung karena tenggelam dalam janji-janji, sementara para calon dihantui rasa gamang mabuk gelombang laut ciptaan sendiri. Bingung di pemilih, stres di calon. Di mana locus vexatus (problem yang membuat gatal- resah)-nya?

Dua metode klasik

Ada banyak metode berkampanye. Pertama, metode membagikan uang, sembako, kaus, atau sandang dan pangan, yang banyak dilakukan selama kampanye. Para calon menangkap, segmen terbesar pemilih adalah rakyat yang masih terkungkung beban survival. Di masyarakat mana pun, semua akan tertarik bila kampanye dilambari hal nyata seperti uang atau sembako.

Orang boleh mengkritik praktik politik yang mengeksploitasi basic needs ini dengan mengemukakan praktik demokrasi di negara modern menuntut kita maju melampaui money politics vulgar. Betul bahwa demokrasi negara maju sudah membuat sistem sedemikian rupa sehingga praktik uang dalam politik dibuat transparan dalam kawalan hukum. Namun, jika mengingat situasi, sepertinya kita baru boleh berharap, suatu saat demokrasi akan lebih transparan dalam dukung- mendukung secara finansial.

Metode kedua sebenarnya sama dengan sebelumnya, membagi-bagikan prestasi, track record kesuksesan, atau janji prestasi untuk menarik perhatian rakyat. Iklan di koran dan televisi digunakan untuk menggambarkannya. Para calon yakin, dengan mengiklankan deretan titel akademis atau religius, prestasi atau janji prestasi ke depan, rakyat akan memilih mereka.

Mereka yang kritis bisa tajam melihat bahwa titel di Indonesia tidak selalu berbanding lurus dengan kompetensi. Orang-orang juga mengerti, prestasi kuantitatif atau wanprestasi bersifat konjektural alias relatif. Lagi pula, ingar-bingar janji prestasi terlalu jelas menunjukkan cirinya sebagai iklan: sisi spectacle terlalu dibuat-buat agar spektakuler.

Kita boleh berharap, media yang memegang kunci pada hal terakhir ini bukan hanya menjadi penikmat panen uang, tetapi juga menolong rakyat dengan informasi kritis dan tajam namun cerdas dan mencerahkan.

”Akrasia”

Terlepas dari harapan perbaikan, kedua model kampanye itu bersifat irasional. Bila berpolitik adalah panggilan untuk mencapai kebaikan bersama, mengapa dengan sarana membagikan uang atau membuat-buat citra? Tidak ada konstitusi negara mana pun yang didasarkan pada uang atau citraan ambigu. Jelas irasional mengharap pencapaian masyarakat adil dan makmur kepada politisi yang menggantungkan diri pada uang atau imaji.

Para pemikir di Yunani abad V SM berbicara tentang akrasia. Saat orang tahu bahwa tujuan yang benar adalah x, tetapi yang dilakukan adalah non-x, di situ ada akrasia. Para politisi kita sadar, tujuan berpolitik adalah bonum commune (kebaikan bersama). Namun, bila sarana untuk mencapainya adalah uang, entah vulgar atau maupun subtil, logika investasi modal selalu menuntut pengembalian atau untung untuk pribadi, tentu saja kontradiktif dengan tujuan yang diarah.

Akrasia adalah kendurnya kontrol diri manakala orang tidak bisa menyambungkan tujuan rasional dengan perilaku irasionalnya. Menyerah pada tuntutan nafsu (basic needs, seperti makan, minum, seks, atau uang) dan menaruh dalam tanda kurung aneka tuntutan rasional yang disadari adalah tanda kelemahan kehendak, akrasia.

Membagikan diri

Maka, tidak heran ancaman paling serius dari dua model itu adalah kebingungan di pihak pemilih karena mereka menjadi tidak tahu lagi apa tujuan pemilu. Orang menjadi sesak karena keluhuran demokrasi direduksi pada lembaran uang, menjadi sumpek oleh gebyar kosong pertunjukan iklan. Namun, ancaman lebih serius menimpa si calon: stres pascapertaruhan pemilu. Ketidakmampuan mengontrol diri menggunakan uang akan berbuah stres dan niscaya menuntut modal dikembalikan.

Hanya orang yang mampu menguasai diri yang bisa menyesuaikan sarana uang dengan tujuan-tujuan rasional berpolitik. Ia tahu uang hanya menjanjikan kesetiaan taktis sesaat bahwa pesona prestasi juga tidak serta- merta membuat takjub. Dan, lebih dari itu, ia tahu modal utama berpolitik adalah diri sendiri: berbicara jujur, mengabdi secara konkret, mengakui keterbatasan diri, sekaligus keinginannya untuk berbuat hal-hal besar demi bonum commune.

Guru pengenalan diri, Sokrates, sering berbicara keutamaan sophrosune (ugahari) untuk mengatasi irasionalitas akrasia. Menurut dia, lewat mengenal diri, artinya mengenali jiwanya (bukan uang atau prestasi eksterior), orang memiliki persepsi tepat tentang dirinya sendiri, artinya tahu diri (ugahari). Orang- orang seperti ini jelas tidak akan mudah stres dan ia juga tidak akan membingungkan pemilihnya. Politik adalah pengabdian dan pemberian diri. Sekadar mengorbankan uang, apalagi orang lain, tidak pernah menjadi ciri khas orang-orang yang dikenang sejarah sebagai pahlawan atau negarawan. (*A Setyo Wibowo Pengajar STF Driyarkara, Jakarta)

---
Sumber: A Setyo Wibowo: "Bagikan Uang, Prestasi, dan Dirimu," Kompas, 4 April 2009

Obesitas Demokrasi

Oleh: Yasraf Amir Piliang*

Setiap kampiun demokrasi selalu percaya bahwa pemilihan umum adalah sebuah ”pesta demokrasi”. Dalam pesta itu, rakyat mengekspresikan segala kebebasan, keinginan, dan aspirasi politiknya.

Namun, pesta demokrasi dapat berubah menjadi pesta ”hiperdemokrasi”, saat praktik demokrasi ”melampaui” batas alami: partai terlalu banyak, caleg terlalu populer, simbol politik terlalu ramai, dan slogan politik terlalu heboh.

Inilah ruang politik yang terlalu sarat informasi, terlalu banyak pilihan, terlalu ramai repertoire, terlalu populer penampilan, terlalu padat jargon, terlalu semrawut simbol, terlalu mahal biaya, terlalu banyak pekerjaan, terlalu rumit prosedur, dan terlalu kompleks aturan. Yang tercipta adalah kondisi ”obesitas demokrasi”, yaitu saat demokrasi ”melampaui” apa yang dapat diterima kapasitas kognitif, afektif, dan simbolis masyarakat politik sendiri—the obesity of democracy.

Nihilisme demokrasi

Demokrasi yang ”melampaui” dapat menggiring pada ”nihilisme”, saat sistem komunikasinya didominasi ”jargon-jargon” tentang ’perubahan’, ’kemajuan’, ’nasionalisme’, ’kerakyatan’, ’transformasi’, sementara tak mampu mengembangkan penjelasan rasional tentang kompleksitas kenyataan sosio-politik yang sebenarnya. Problematika sosial direduksi menjadi jutaan citra manipulatif, yang melaluinya dilukiskan seakan-akan semua persoalan bangsa dengan instan dapat diselesaikan.

Cornel West dalam Democracy Matter (2004) menggunakan istilah ’nihilisme sentimental’ (sentimental nihilism) untuk menjelaskan kondisi demokrasi, di mana aneka polesan citra politik yang menyilaukan mata, bahwa seakan-akan kompleksitas persoalan negara, bangsa, dan kemasyarakatan, dengan mudah dapat dipecahkan, melalui retorika komunikasi politik yang gemerlap, dengan mengabaikan ’nalar’ atau ’argumen ilmiah’.

Apa yang terjadi adalah semacam ’desubstansialitas demokrasi’, di mana masalah-masalah nyata negara-bangsa direduksi menjadi ’solusi citra’ (imaginary solution) melalui strategi ’imagologi politik’, yaitu aneka strategi, trik, dan teknik rekayasa (baca: manipulasi) citra politik dalam aneka media komunikasi politik (iklan, poster, pamflet). Di sini, substansi sosial diambil alih jargon sosial; realitas sosial digantikan ’layar sosial’, saat wacana politik dikendalikan oleh ’teknologisasi pencitraan’—the political imagineering.

Desubstansialitas demokrasi menggiring pada ’ketercabutan politik’ (political detachment), di mana citra-citra politik terlepas dari realitas sosio-politik yang sesungguhnya. Gemerlap citra-citra itu membentuk semacam ’orbit citra politik’, yaitu perputaran citra politik yang tanpa henti dan dengan intensitas tinggi dalam orbitnya, dengan muatan informasi padat jargon, tetapi mempunyai relasi minimalis dengan realitas sosial sebenarnya.

Politik obesitas

Saat wacana politik tidak dibangun oleh batas-batas formal yang pasti, maka tiap komponen politik-partai, caleg, komunikasi, simbol, bahasa, citra, bertumbuh melampaui batas sehingga menciptakan kondisi ’obesitas’ (obesity). Obesitas politik adalah kondisi tubuh politik yang tumbuh melampaui batas-batas ’ideal’ karena terlalu banyak tumpukan ekses di dalamnya yang mengakibatkan kelebihan beban.

Jean Baudrillard, dalam Fatal Strategies (1990), melukiskan obesitas sebagai kondisi saat sesuatu bertumbuh ’melampaui’ batas alamiahnya sehingga kehilangan esensi, makna, dan tujuannya sendiri. ’Obesitas demokrasi’ adalah kondisi pertumbuhan demokrasi yang menuju sifat ekses, redundansi, dan banalitas, yaitu ketika pertumbuhan organisasi, komunikasi, citra, dan informasi politik telah ’melampaui batas ideal’, sehingga ia kehilangan esensi, makna, dan tujuannya sendiri.

’Obesitas demokrasi’ ditunjukkan oleh ’fragmentasi melampaui’ (over fragmentation), yaitu terlalu mikronya diferensiasi partai sehingga menciptakan fragmen-fragmen partai yang menyulitkan pembedaan (micro difference). Overfragmentasi menciptakan kondisi ’fatalis-nihilis’: lenyapnya batas-batas di antara elemen politik sehingga batas ideologis antara partai ’nasionalis’ satu dan lainnya, partai ’demokratis’ satu dan lainnya, atau partai ’keagamaan’ satu dan lainnya menjadi kabur—defragmentation of ideology.

’Obesitas demokrasi’ ditunjukkan oleh ’pertandaan melampaui’ (over signification), yaitu terlalu banyak gambar, lambang, simbol, tanda, foto, maskot, figur yang ditampilkan, sehingga menimbulkan turbulensi pada tingkat kognitif, afektif, dan semiotik. Pada tingkat kognitif citra yang terlalu banyak menyebabkan kesulitan membedakan satu citra dan lainnya. Pada tingkat semiotik, tanda-tanda yang terlalu masif menimbulkan kesulitan menangkap makna tanda itu sendiri.

’Obesitas demokrasi’ ditunjukkan pula oleh ’komunikasi melampaui’ (over communication), yaitu terbentangnya medan komunikasi politik terbuka lintas ruang dan waktu. Melalui kekuatan teknologi informasi (internet dan layanan pesan singkat), kampanye seorang calon anggota legislatif di sebuah daerah didiseminasi ke wilayah lain sehingga terjadi komunikasi trans-spatial yang chaotic, serta penumpukan acak informasi pada seorang individu, yang menciptakan ruang komunikasi politik chaotic.

Pendulum liberalisme

Perkembangan liberalisme sebagai ideologi politik ’demokratis’, menurut Immanuel Wallerstein dalam After Liberalism (1995), ditandai oleh ’pendulum’ yang bergerak di antara kekuatan negara (state) sebagai pengatur dan pembuat regulasi dan komunitas politik (political party) sebagai pelaku dan aktor-aktor politik. Ayunan pendulum itu menentukan tingkat ’kebebasan’ politik dan otoritas ’pengaturan’ (regulation) negara.

Pada fase awal liberalisme, kekuatan negara sebagai regulator dibuat minimal sehingga memaksimalkan ’kebebasan’ politik. Tetapi, pada fase akhir liberalisme, justru kekuatan negara sebagai regulator membesar sehingga mampu ’membatasi’ kebebasan aktor-aktor politik, agar tidak berkembang ke arah demokrasi yang ’melampaui’, seperti dilakukan AS sebagai kampiun liberalisme akhir-akhir ini.

Fenomena demokrasi di atas tubuh bangsa ini, ironisnya, menunjukkan ayunan pendulum yang mengarah pada ’kebebasan politik’ maksimal seperti liberalisme klasik sehingga menciptakan overfragmentasi, overkomunikasi, dan oversignifikasi politik. Akibatnya, pikiran, kesadaran, dan energi elite politik dihabiskan untuk mengurusi kerumitan ’kebebasan demokratis’ biaya tinggi, dengan segala ekses dan redundansinya, sambil melupakan tujuan akhir demokrasi, yaitu kesejahteraan rakyat.


---
Sumber:Yasraf Amir Piliang : "Obesitas Demokrasi", Kompas, 4 April 2009

*Yasraf Amir Piliang Pemikir di Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD-Institut Teknologi Bandung

3.4.09

Mengawinkan Potensi Kreatif dan Kecanggihan Teknologi

DI dunia ini ada berbagai macam fenomena yang mungkin tidak dapat dimengerti secara pasti seluruhnya, namun dapat ditangkap polanya. Kompleksitas adalah sebuah perspektif untuk melihat sistem natural sebagai sebuah sistem kompleks. Adalah Bandung Fe Institute (BFI), sebuah organisasi yang boleh jadi satu-satunya di Indonesia yang menaruh perhatian besar pada penelitian berdasarkan kompleksitas di Indonesia. BFI menggunakan pendekatan complexity sciences untuk melihat sebuah sistem sosial.

Rolan Mauludy Dahlan adalah salah satu peneliti dari Bandung Fe Institute (BFI), yang berkantor di kawasan Cipedes, Bandung. Menarik mendengar penjelasannya bahwa fenomena sosial, bukan tak mungkin didekati dengan penghitungan polanya. Tak cuma itu, BFI yang berdiri sejak tahun 2002 pun turut merespons ekonomi kreatif yang kini menjadi tren global. BFI mendirikan Indonesian Archipelago Culture Institute (AICI), yang memiliki sejumlah program impresif demi pelestarian seni budaya Indonesia dan pengembangan ekonomi kreatif, di antaranya, upaya memetika (sebuah model pemrosesan data) Indonesia hingga perpustakaan digital.

Rolan menjadi peneliti di BFI sejak tahun 2004 setelah proposalnya yang mengupas tentang studi ekonomi sebagai sistem kompleks, diterima oleh jajaran Board of Advisors di mana salah satu di antaranya ialah Prof. Yohannes Surya yang banyak berkiprah di dunia fisika. Lulusan Teknik Industri ITB angkatan 2000 ini kini bertugas pada Departement Evolutionary Economics BFI dan menjabat sebagai Ketua Jaringan Budaya Indonesia/AICI. Berikut obrolan Kampus dengan lelaki kelahiran 2 Desember 1980 ini tentang upaya-upaya BFI dan AICI dalam mendukung ekonomi kreatif, Senin (31/3).

Bisa cerita latar belakang berdirinya BFI dan apa yang dimaksud dengan kompleksitas dalam sistem sosial?

Ada teori chaos yang menekankan konsekuensi antara order (keteraturan) dan disorder (ketidakteraturan). Hipotesisnya adalah kehidupan ada di tepi chaos itu. Manusia tidak dapat menangkap segala sesuatu dengan pasti, tapi manusia bisa menangkap pola dari sistem tersebut.

Contohnya suara sirine. Sebab bunyinya teratur, awalnya mungkin terdengar enak, tapi lama-lama bisa juga menjadi menganggu. Sebaliknya, orang yang tidak bisa main piano, lalu disuruh main piano. Bisa jadi terdengar kacau, karena berangkat dari ketidakteraturan. Itu artinya bahwa keindahan musik atau secara keseluruhan kehidupan ini terletak antara keteraturan dan ketidakteraturan. Dan kami ingin mengakuisisi perspektif tersebut dalam sistem sosial.

Mulai dari situ, kami mulai banyak melakukan penelitian. Buku sudah 2 buah yang terbit, dan tulisan di berbagai jurnal internasional. Belakangan para peneliti sadar, tren global kini menuju pada ekonomi kreatif, dan kami pikir keragaman budaya Indonesia adalah bahan bakar dari kreativitas. Makanya kami membangun AICI akhir tahun 2007. Di dalam AICI ada 3 divisi yaitu, Jaringan Budaya Indonesia, Perhimpunan Budaya Indonesia, dan Satuan Ekonomi Kreatif. Divisi-divisi ini membuat perpustakaan digital, dan membuat model-model pengembangan ekonomi kreatif.

Apa yang difokuskan dalam kajian pengembangan ekonomi kreatif?

Tantangannya bukan lagi bagaimana membuat teknologi produksi, tapi bagaimana mendominasi teknologi produksi tersebut. Kini, yang membuat handphone ialah banyak negara, dari Amerika, Jepang, hingga Indonesia juga jika dipaksa. Jadi masalahnya, bukan lagi bagaimana menguasai teknologi, tapi bagaimana mengisi content teknologi tersebut.

Ada 2 faktor yang mempengaruhi iklim ekonomi kreatif, yakni, disparitas produk dan disparitas pasar. Misalnya, batik punya satu pasar, tapi kalau motif batik diragamkan, maka memiliki pasar yang lebih beragam. Indonesia memiliki keragaman budaya yang mengakibatkan disparitas pasarnya tinggi, namun sayangnya tidak diiringi disparitas produknya. Sebab orientasi kita lebih pada pariwisata, daripada produksi.

Tantangan berikutnya ialah melindungi sumber daya kreativitas. Kita semua harus melindungi kekayaan kita agar tidak dicolong orang. Dari situ, kita tingkatkan disparitas produknya. Coba lihat Apple, mereka tidak hanya menjual komputer Apple dan perangkatnya, tapi juga menjual merchandise, foto, dsb. Nah, Indonesia lemahnya di situ. Selain kekayaan sumber budayanya dicuri, selain itu disparitas produknya rendah.

Solusinya?

Perlu perlindungan hukum, mempelajari Indonesia baru, dan terus berinovasi. Tapi 3 faktor itu baru bisa berjalan baik, jika ada basis data kuat. Nah, sayangnya 64 tahun berdiri Indonesia belum punya basis data yang kuat. Akhirnya terjadilah seperti peristiwa seorang ibu asal Bali. Jadi, ia mengekspor kerajinan perak ke Amerika, ternyata perusahaan pengantar itu bergerak pada bidang kerajinan juga, lalu ia mendaftarkan HAKI-nya. Tahun berikutnya ketika sang ibu mengekspor lagi, ia terkena tindakan hukum. Jadi, kita harus punya perangkat hukum, namun yang terpenting ialah basis data yang kuat. BFI banyak menyuplai riset untuk AICI. Kini, AICI masih membangun pengumpulan data dengan perpustakaan digital. Kalau pakai metode konvensional untuk menghitung jutaan artefak di Indonesia akan sulit. Dalam hal motif, kami memprediksi ada lebih dari 1 juta motif di Indonesia. Jika pengumpulan data dilakukan secara mendatangi satu-satu, kayaknya mustahil, makanya kita bangun perpustakaan digital.

Berapa data yang kini terkumpul dalam perpustakaan digital?

Kami launching situs www.budaya-indonesia.org sejak September 2008, kini data yang terkumpul sekitar 5.500 data, dari mulai tarian, lagu, motif, rumah adat, dsb. Kami terus membangun jaringan sehingga orang semakin tahu situs ini. Kami menggabungkan partisipasi publik dengan teknologi Web 2.0. Jadi, bagaimana membuat teknologi yang memungkinkan publik untuk berpartisipasi, seperti Wikipedia. Setiap kontributor hanya akan mendapat pencantuman nama, namun gunanya banyak, ini sebagai penelitian dan perlindungan hukum.

Bisa cerita pemrosesan data setelah terkumpul?

Setelah terkumpul, kami ekstrak datanya dengan memanfaatkan metode dari biologi. Dalam biologi, ada unit terkecil bernama gen. Jadi sebenarnya di sistem sosial, terkandung gen bernama meme atau inti. Makanya projek ini dinamakan proses memetika. Misalnya, dalam sebuah lagu, meme-nya itu apa. Dari lagu itu, kita menyusun meme-nya menjadi sebuah model. Pemetaan itu memakai sistem komputasi hasil dari perancangan software. Sampai sekarang baru ada 4 hal dalam upaya memetika yang kami lakukan, yaitu, motif, lagu, bahasa, rumah. Yang belum, misalnya tari. Karena mediumnya bergerak dari video, jadi memang masih agak sulit. Dari pemodelan itu, kita cari bentuk Indonesia baru seperti apa. Paling tidak dari sini ada bahan masukan, kalau mau masuk ke daerah A, maka lagu yang pas adalah yang seperti A, misalnya.

Bagaimana dengan perlindungan hukum?

Ini memang belum memiliki kekuatan hukum, ini lebih pada hukum publikasi. Selama ini dikenal 3 konsep perlindungan hukum, yakni HAKI konvensional yang dimiliki individu oleh perusahaan. Namun ini lemah, karena biaya tinggi dan artefak Indonesia kadang belum jelas penemu pertamanya. Sedangkan yang kedua, ada GPL (genuine public license), kita dapat pengakuan, tapi tidak ada keuntungan ekonomi. Nah, ketiga, yang sekarang sedang dibahas yaitu World Intelectual Property Organization (WIPO). Ini di bawah PBB yang mengurus hak intelektual, khususnya di komunitas setempat. Tapi justru menurut kajian kami, yang ketiga ini paling potensial konflik, karena cenderung menghasilkan eksklusifisme antar daerah yang mengancam disintegrasi bangsa. Makanya, kami sedang berjuang konsep baru yaitu Nusantara Culture State License (NCSL), yakni penggabungan 3 metode sebelumnya. Targetnya, NCSL ini bisa diterapkan nasional dan juga internasional.

Bagaimana mendorong teknologi untuk inovasi ekonomi?

Makanya kami meneliti batik fraktal, atau batik yang digenerasi dengan komputer atau desain tidak dibuat dengan manusia. Saya melihat desain batik itu sangat mentok sekarang. Dalam 30 tahun terakhir tidak ada motif-motif baru. Nah kalau kita menguasai teknologi ini maka kita akan bisa menggenerasi sekian banyak batik, menjaganya tetap indah dan luhur sebagai nilai batik, sekaligus produksi yang efektif dan efisien. Sekarang kami baru mencoba batik, ke depannya akan mencoba kerajinan lainnya. Dari situ, kita bisa melihat bagaimana kita bisa mengawinkan potensi kreatif dan kecanggihan teknologi untuk melahirkan disparitas produk. ***
---
Sumber: Dewi Irma: "Mengawinkan Potensi Kreatif dengan Kecanggihan Teknologi", Pikiran Rakyat, 2 April 2009.

23.2.09

Lelang Abad Ini Senilai Rp 4,4 Triliun

Dari lukisan Picasso hingga ratusan artefak dan patung bersejarah, segala benda seni yang menginspirasi almarhum desainer kondang, Yves Saint Laurent, akan dilelang. Sebanyak 733 koleksi akan ditampilkan selama tiga hari dalam acara yang dijuluki sebagai ”lelang abad ini” di Paris, Perancis.

Desainer Perancis bernama asli Yves Henri Donat Mathieu- Saint-Laurent itu lahir 1 Agustus 1936 dan wafat 1 Juni 2008 karena kanker otak yang dia derita bertahun-tahun.

Semua benda itu dikumpulkan Saint Laurent bersama mitranya, Pierre Berge, selama setengah abad. Kolektor, perwakilan museum, miliarder, dan pengunjung menyesaki Grand Palais, tempat lelang digelar sejak Sabtu (21/2).

Di antara benda-benda yang dilelang adalah lukisan karya Piet Mondrian tahun 2002 berjudul ”Composition in Blue, Red, Yellow, and Black”. Kotak-kotak berwarna-warni dalam lukisan itu menginspirasi gaun rancangan Saint Laurent yang legendaris tahun 1965.

Benda seni lain yang akan dilelang adalah patung kayu karya Constantin Brancusi, pematung Romania, yang diperkirakan terjual seharga 19 juta dollar-25 juta dollar AS (Rp 223 miliar-Rp 293 miliar). Ada juga sepasang kepala binatang dari perunggu yang lenyap dari sebuah istana di Beijing tahun 1860, patung-patung zaman Mesir dan Romawi, salib gading buatan Italia abad ke-17, serta mangkuk bir perak buatan Jerman.

Akan disumbangkan

Benda yang diharapkan terjual paling mahal adalah lukisan Picasso tahun 1914-1915 berjudul ”Instrument de musique sur un gueridon”. Harganya diperkirakan mencapai 38 juta dollar AS (Rp 446 miliar).

Seluruh penjualan diperkirakan bisa mencapai 250 juta dollar-380 juta dollar AS (Rp 2,9 triliun-Rp 4,4 triliun) dan akan didonasikan ke sebuah yayasan guna mendukung riset AIDS.

”Selama 30 tahun dalam bisnis lelang, saya belum pernah melihat sesuatu sebagus ini. Ini benar-benar glamor, kemewahan yang nyata,” kata Jonathan Rendell, Wakil Presiden Balai Lelang Christie’s Amerika.

Koleksi Saint Laurent dan Berge, menurut Rendell, adalah yang paling top dari setiap wilayah, lukisan modernis paling baik, koleksi art deco terbaik. (ap/a/reuters/fro)

(Sumber: Kompas, 23 Februari 2009)